Akhir-akhir  ini,  diskusi hukum terkait omnibus law semakin menemu- kan “gaungnya” tatkala dalam pidato resmi pertamanya pasca dilantik sebagai Presiden dalam sidang MPR pada tang- gal 20 Oktober 2019, Presiden Jokowi menyatakan bahwa salah satu prioritas dalam pemerintahannya lima tahun kedepan adalah perbaikan hukum melalui mekanisme omnibus law. Ombnibus law dianggap sebagai salah satu solusi dalam bidang hukum khususnya terkait investasi.

Menurut Jimly Asshiddiqie, omnibus law adalah format pembentukan UU yang bersifat menyeluruh dengan turut mengatur materi UU lain yang saling berkaitan dengan subtansi yang diatur oleh UU yang diubah atau dibentuk. Konsep perubahan atau pembentukan UU melalui Omnibus law tentu berbeda dengan konsep pembentukan atau perubahan undang-undang yang selama ini dilakukan di Indonesia dimana proses pembentukan/perubahan atas undang- undang sangat sektoral.

Gagasan untuk mewujudkan omnibus law dalam sistem peraturan perundang- undangan dalam Negara yang menganut sistem hukum erofa contineltan seperti Indonesia merupakan gagasan yang tidak berlebihan. Sebab, pertama, setiap undang-undang yang akan diubah atau dibentuk memiliki keterkaitan materi dengan undang-undang yang lain. Artinya, antara satu undang-undang dengan undang yang lain memiliki keterkaitan. Semisal undang-undang tentang pemi- lihan umum. Ketika membahas tentang undang-undang pemilihan umum maka juga berkaitan dengan undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur tentang kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan umum.

Kedua, Pelaksana. Dengan adanya omnibus law maka akan membuat pelaksana dari undang-undang menjadi mudah memahami atau tidak mengalami kebingungan dalam menjalankan pekerjaannya. Hal ini berbeda dengan tidak adanya omnibus law dimana pelaksana dari undang-undang kebingungan dalam memahami dan menjalankan suatu ketentuan aturan hukum karena aturan hukum tersebut tidak terkodifikasi dalam satu undang- undang/kitab undang-undang melainkan tersebar diberbagai undang-undang.

Ketiga, tumpang tindih dengan adanya omnibus law  maka tumpang-tindih antara satu undang-undang dengan undang-undang lain dapat dicegah. Hal ini sangat penting karena banyak terdapat undang-undang yang saling bertentangan satu sama lain (conlifkc of norm). Semisal, suatu undang-undang menyatakan A namun di undang-undang lain menyatakan B.

Undang-undang tentang pemilihan kepala daerah merupakan salah satu dari sekian banyak undang-undang yang harus mengalami omnibus law. Undang- undang tentang Pilkada penting untuk diintegrasikan melalui omnibus law karena masalah Pilkada menjadi salah satu masalah yang “seksi” dan menguras banyak perhatian sekaligus termasuk jenis undang-undang yang paling sering mengalami perubahan.

Omnibus law atas undang-undnag Pilkada diperlukan karena: Pertama, pengaturan tentang Pilkada masih terse- bar di berbagai undang-undang. Yakni undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara plus nantinya undang- undang tentang Badan Peradilan Khusus,  apalagi ditambah dengan peraturan delegasi lainnya seperti PMK, PKPU dan lain-lain.

Tersebarnya aturan tentang Pilkada dalam berbagai undang-undang telah menjadikan kerumitan tersendiri dalam memahami kontruksi hukum Pilkada di Indonesia mengingat penyelenggara, peserta dan pemilih harus memahami sekian peraturan perundang-undangan tentang Pilkada padahal peneyelengga- raan Pilkada bersifat satu kesatuan namun aturan yang mengaturnya tersebar  di berbagai level peraturan perundang-undangan.

Kedua, omnibus law terhadap Undang-Undang Pilkada dibutuhkan untuk mencegah terjadinya konflik kewenangan antar penyelenggara Pilkada dan antar lembaga pera- dilan. Konflik kewenangan antar lembaga penyelenggara Pemilu khususnya antara Bawaslu dengan KPUD karena kedua penyelenggara tersebut berbeda dalam memahami undang-undang Pilkada.

Ketiga, Konflik Putusan. Tidak terintegrasinya UU Pilkada telah menyebabkan terjadinya perbedaan putusan antara lembaga peradilan dalam sengketa Pilkada di Pengadilan. Kasus Pemilukada Depok pada tahun 2010 merupakan bukti bagaimana putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi bertentangan satu sama lain sehingga membingung- kan penyelenggara Pemilukada tentang putusan mana yang harus dijalankan. Keempat, tersebarnya aturan Pilkada dalam berbagai undang-undang telah me- nyebabkan tidak terjadinya sinkronisasi antar ketentuan undang-undang yang satu dengan yang lainnya.

Omnibus law tentang UU Pilkada setidaknya harus mengatur beberapa hal. Pertama, Penyelenggara. Penyelenggara Pilkada harus ditegaskan secara ekplisit dalam UU Pilkada hasil omnibus law. Kedua, Mekanisme penyelesaian seng- keta Pilkada baik tentang Pelanggaran Administrasi, Pelanggaran Administrasi Pidana, Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan, Tindak Pidana Pemilihan, Perkara Perselisihan Hasil dan Pelanggaran etik.

Ketiga, lembaga yang akan menyelesaikan sengketa. Lembaga yang akan menyelesaikan sengketa atas setiap jenis sengketa sebagaimana dimaksud pada point kedua harus ditentukan dalam satu undang-undang. Semisal kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam hal penetapan calon misalnya. Badan Peradilan Khusus dalam hal Perkara Perselisihan Hasil dan Mahkamah Agung dalam hal Tindak Pidana Pemilihan sementara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam hal etik atau dapat dinyatakan bahwa lembaga yang akan menyelesaikan seluruh sengketa dalam penyelenggaraan Pilkada dilaksanakan oleh satu lembaga peradilan saja.

Keempat, syarat calon. Persyaratan calon peserta Pilkada harus tegas dan eksplisit serta tidak bertentangan dengan berbagai peraturan sektoral lain atau putusan lembaga peradilan. Sebab, mengenai persyaratan calon selalu  bersifat debatable terutama terkait dengan calon yang tersandung kasus Hukum.

Kelima, sanksi. Pengaturan sanksi harus tegas dan diatur dalam omnibus law UU Pilkada. Perihal sanksi selama ini masih sangat lentur dan multi tafsir (vatique of norm) serta tidak menjamin kepastian hukum yang adil. Semisal, sanksi bagi Parpol dan bakal calon kepala daerah dalam hal “mahar” politik. Dalam hal terdapat bakal calon yang memberi- kan mahar politik kepada Parpol untuk memperoleh rekomendasi pencalonan maka diancam sanksi pidana begitupun dengan Parpol yang menerima mahar juga akan menerima sanksi. Ancaman sanksi seperti ini tentu tidak efektif kar- ena Bakal calon yang memberikan mahar politik tidak akan melaporkan ke Bawaslu sebab apabila ia melaporkan maka sama dengan bunuh diri. Omnibus Law adalah solusi untuk menyelamatkan regulasi Pilkada membingungkan penylenggaraan Pilkada. (ahsb/dtm/hmsuim)