bakpti.unisma.ac.id, 30/07/20. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah terbilang gampang-gampang sulit. Hal itu dilihat dari ketuntasan siswa dalam ujian nasinal atau ujian setara yang lain. Banyak faktor yang mempengurahi hasil kurang memuaskan yang diperoleh siswa tersebut. Beberapa siswa mengaku bahwa mereka meremehkan pelajaran tersebut karena dianggap merupakan bahasa keseharian. Banyak pula yang menganggap bahwa soal mata pelajaran tersebut dipenuhi dengan bacaan panjang, sehingga mereka merasa jenuh dalam membacanya. Selain itu, ada pula yang beranggapan bahwa soal tersebut mengecoh karena pilihan jawaban dari soal tersebut hampir semua sama dan dianggap dapat dijawab dengan semua pilihan yang ada.
Dari beberapa anggapan tersebut, tentu yang sangat menarik adalah anggapan mengenai soal yang mengecoh karena hal ini berkaitan dengan isi soal. Memang, soal bahasa dan sastra Indonesia terkadang mempunyai penalaran yang cukup sulit karena terkesan semua pilihan jawabanya dapat dilogika sebagai pilihan jawaban yang benar. Hal yang lebih kompleks terjadi saat soal sastra. Soal seperti nilai yang terkandung dalam karya sastra, watak tokoh, serta amanat yang terkandung dalam karya sastra tersebut kadang sangat sulit dijawab karena pilihan jawabanya sangat mirip.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id
Faktor yang membuat soal tersebut sulit dijawab terkadang karena pengambilan karya sastra dengan dipotong pada bagian tertentu. Hal tersebut membuat karya yang sebenarnya cukup panjang hanya disajikan dalam beberapa paragraf. Terkadang dalam soal amanat yang terkandung dalam karya tersebut pilihan jawabannya sangat mengecoh. Dalam pilihan jawaban terdapat pilihan yang cukup sesuai dengan amanat potongan karya itu. Akan tetapi, kunci jawaban mengarah pada amanat dari keseluruhan karya tersebut. Begitu pula pada watak tokoh. Kadang perubahan karakter tokoh tidak tampak pata kutipan soal sehingga mengarah pada jawaban yang salah. Nilai yang terkandung dalam karya sastra pun demikian, karena merupakan potongan dari karya sastra yang panjang terkadang ketika kita mencari di google misalnya, nilai yang terkandung pada karya sastra tersebut tidak sesuai dengan potongan soal yang diberikan.
Oleh karena itu, munculnya pentigraf yang digagas oleh Tengsoe Tjahjono cukup memberi angin segar bagi pembelajaran sastra di sekolah, khususnya dalam kaitan dengan cerpen dan pemberian soal berupa nilai, amanat, serta watak tokoh. Pentigraf yang merupakan cerita pendek berisi tiga paragraf tergolong sangat cocok jika digunakan sebagai soal ujian dengan materi cerpen. Tidak akan ada lagi potongan karya yang membuat simpang siur antara nilai dari potongan tersebut dengan nilai yang terkandung dalam seluruh karya. Begitu pula watak tokoh yang tampak jelas tanpa ada perubahan watak, sehingga tidak ada kerancuan dalam pemilihan watak tokoh.
Pentigraf yang berisi tiga paragraf, tetap harus mempunyai tokoh, alur cerita, dan konflik yang kuat sehingga cocok dijadikan sebagai soal analisis karya sastra di sekolah. Selain itu, dalam kaitan penciptaan karya sastra, pentigraf juga dirasa sesuai dengan keterbatasan waktu di sekolah. Genre karya sastra ini tergolong pendek sehingga siswa dapat memanfaat keterbatasan waktu di sekolah untuk membuat karya sastra ini. Setelah karya sastra ini dibuat, guru pun dengan cepat dapat mengamati karya tersebut untuk dinilai baik dan tidaknya.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id
Dengan demikian masalah-masalah pembelajaran sastra di sekolah sedikit dapat teratasi. Hal tersebut tentu pula meringankan beban siswa dan guru. Dengan kata lain, siswa dapat berkarya dengan waktu yang memang cukup terbatas.
*)Penulis: Khoirul Muttaqin, S.S., M.Hum. pernah menjadi wartawan dan saat ini menjadi dosen di FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA).
*)Tulisan asli Opini ini dimuat di timesindonesia.co.id (https://www.timesindonesia.co.id/read/news/288064/pentigraf-angin-segar-pembelajaran-sastra-di-sekolah)
