bakpti.unisma.ac.id, Ken Arok telah menjadi salah satu legenda yang diidentikkan dengan kekerasan. Menyebut Ken Arok sama artinya dengan memposisikan kekerasan sebagai “hukum dan hakim jalanan” yang diperkenankan atau ditoleransi untuk menghabisi siapa saja yang menjadi targetnya. Tunggul Ametung, sang penguasa Tumapel pun menemui ajal ditangan Ken Arok yang berambisi merebut kekuasaan.

Perebutan kekuasaan dengan cara berdarah atau kekerasan dari anak cucu Ken Arok seolah menjadi mata rantai yang tak putus yang seolah membenarkan, bahwa kekerasan dan darah tumpah di di republik ini adalah “kutukan” atau laknat hstoris warisan Ken Arok yang tidak akan bisa dihapuskan oleh siapapun.

Dalam ranah itu, Ken Arok dianggap menjadi simbol sejarah kehidupan setiap segmen bangsa ini, yang “merasa” kesulitan menceraikan diri atau perilakunya dari amarah, kekerasan dan darah.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Begitu ada kekerasan atau darah tumpah, maka serta merta perilaku ini digolongkan sebagai ahli waris dari Ken Arok. Apa yang diperbuatnya dinilai tak berbeda dengan perilaku barbarian yang dipanglimakan atau diunggulkan oleh Ken Arok.

Perilakunya itu mencerminkan bukan sebagai bangsa yang menjunjung tinggi keadaban, tetapi ketidakadaban yang layaknya pantas dilakukan oleh binatang, atau setidak-tidaknya sekelompok orang yang mudah mengedepankan tangan-tangan kotor untuk menghadirkan ragam dehumanisasi atau radikalisasi.

Terlepas dari siapa yang jadi ahli warisnya Ken Arok hingga sekarang ini, tetapi (sekelompok orang) di Republik ini memang dalam sejumlah kasus atau sepak terjang layak diidentikkan dengan republiknya Ken Arok, pasalnya bukan hanya subyek negara saja yang bisa menjadi preman “krah putih” yang tega berbuat kekerasan dan menabur darah rakyat, tetapi di lingkungan keluarga pun, anak kerapkali dijadikan sebagai tumbal kekerasan. Tidak sedikit anak-anak yang terjagal hak kesehatan dan kelanjutan hidupnya akibat perilaku “Ken Arok” yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri atau orang-orang dekatnya (dalam keluarga).

Angka keprihatinan terhadap dunia anak yang disodorkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak perlu dapat dijadikan bahan analisi untuk merelasikan antara budaya “Ken Arok” dengan eksistensi anak di lingkungan keluarga. Beberapa tahun lalu, kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ada 700 kasus lebih. Sebanyak 68 persen kekerasan atau kebiadaban dilakukan oleh orang yang dikenal korban (anak). Kejadian yang tidak dilaporkan diperkirakan jauh lebih banyak.

Posisi 68 prosen yang pelakunya berasal dari orang dekat atau segmen keluarga merupakan indikasi, bahwa di komunitas yang seharusnya paling aman, nyaman, dan mendukung secara kondusif pertumbuhan etik-edukatif, fisik maupun psikologis, ternyata anak tetap dalam kondisi kerawanan. Perilaku bergaya Ken Arok tetap menjadi ancaman serius yang potensial merampas hak pertumbuhannya secara fisik, psikis, dan intelektualnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam kasus tersebut, kesalahan layak dialamatkan pada konstruksi keluarga yang sedang atau telah gagal mengedukasikan, memoralitaskan, dan mehumanisasikan dirinya. Konstruksinya masih dikalahkan oleh penyakit budaya Ken Arok yang diberikan tempat menjadi instrument penjagalan dan pengebiri hak-hak anak.

Di lingkungan kekuarga yang masih membalutkan dirinya dengan budaya Ken Arok itu, pribadi anak-anak bukan tidak mungkin juga ikut tercemar, terkooptasi, atau menerima limbah negatif yang potensial diadopsinya, sehingga dalam perkembangan kepribadiannya, mereka pun akan mengikuti jejak orang tuanya atau membentuk dirinya menjadi “Ken Arok-Ken Arok”, yang nota bene sosok yang menyukai dan mengidolakan (memuja dan mengembangkan) kekerasan.

Pemenang Hadiah Nobel Sastra tahun 1945 bernama Gabriela Mistral pernah menyatakan “banyak kekhilafan dan kesalahan yang kita perbuat, namun kejahatan kita yang paling nista adalah kejahatan  mengabaikan anak-anak kita, melalaikan mata air hayat kita. Kita bisa tunda berbagai kebutuhan kita. Kebutuhan anak kita, tidak bisa ditunda. Pada saat ini, tulang-belulangnya sedang dibentuk, darahnya dibuat dan susunan sarafnya tengah disusun. Kepadanya kita tidak bisa berkata “esok”. Namanya adalah “kini”

Peringatan Pemenang Hadiah Nobel tersebut menunjukkan, bahwa pertumbuhan anak harus menjadi perhatian yang serius. Kebutuhan ini tidak bisa ditunda-tunda, apalagi diabaikan, dilecehkan, dan dikorbankan. Mengorbankan anak berarti menodai sejarah kehidupan bangsa ini, sama dengan Ken Arok yang gagal mewariskan proses edukasi yag benar kepada anak dan cucunya, sehigga dirinya dikenal sebagai “pewaris” atau “pengajar” radikalisme di negara ini, yang kemudian dijadikan obyek literasi historis.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan asli Opini ini dimuat di timesindonesia.co.id

Edisi 16 Juni 2020