Pengasuh Ngaji Ihya Ulumuddin di PBNU, Ulil Absor Abdalla luruskan pemahaman dosen, karyawan dan mahasiswa di lingkungan Universitas Islam Malang mengenai Tasawuf. Menantu KH Mustofa Bisri tersebut juga mengingatkan bahwa Tasawuf tidak berarti meninggalkan dunia, namun sebagai jalan membersihkan diri agar mencapai kesaksian tunggal (wahdatul syuhud). Penjelasan secara rinci menganai Tasawuf Junaid Al-Baghdadi dan Imam Ghazali ini diselenggarakan di Gedung Al-Hanafi Hall KH. Oesman Mansur Lantai 3, rabu 23 Oktober 2019.
Dalam pengantarnya Rektor Universitas Islam Malang, Prof. Dr. Maskuri, M.Si menjelaskan latar belakang Nahdlatul Ulama yang kental dengan tradisi digabungkan dengan tradisi akademik. “Gabungan antara kegiatan ritual dan akademik, sehingga membuat tema khas, misalnya istighotsah perspektif sosiologis” jabaran beliau.
Gus Ulil meneceritakan Kronologi perkembangan Tasawuf. Era Imam Junaid Al-Baghdadi abad 3 terjadi Tadwinul ulum al-islamiyah. Era yang berlangsung pada abad 2—3 hijriyah tersebut muncul madhab-madhab fikih bersaman dengan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani. Abad ini juga merupakan fase pertama dalam kajian tasawuf. Sufi era ini misalnya Sahal At-Tustari, memperkenalkan lapar sebagai metode mendekatkan diri dengan Tuhan. Sufi-sufi lainnya di abad ini misalnya Fudhail bin iyadh, Ma’ruf Al-Karkhi, Al-Hallaj.
Sedangkan Imam Ghazali hidup di masa peradaban Islam telah dewasa baik sisi politik, fikih maupun dan sisi tasawuf. Kekuasaan khalifah telah meluas. Ilmu-ilmu agama juga telah berkembang pesat. Kegalauan imam Ghazali melihat peradaban kuat, sehingga kehilangan ruh keislamannya. Sehingga karya momumentalnya ialah Ihya Ulumiddin.
Pada era Imam Ghozali Ilmu mengalami profesionalisasi, sehingga dalam Bidayatul Hidayah muncul terma ulama su’ yang berarti ulama yang mencari ilmu untuk kepentingan dirinya sendiri, tidak sematamata untuk Allah SWT. Kritik Imam Ghozali pada berbagai istilah yang mengalami spesialisasi seperti “fikih”, “kalam”, dan “Tauhid”.
Gus Ulil menampik anggapan orientalis yang mengatakan bahwa Ihya’ Ulumuddin sebagi faktor kemunduran Umat Islam. Salah satu kesalahan dalam membaca Kitab Ihya’ adalah menyimpulkan umat Islam meninggalkan dunia. Bagi Gus Ulil, Kitab Ihya sebagai peringatan terhadap lingkungan ilmu/akademik agar tidak kehilangan ruh dalam beragama. (pps/hmsuim)